Apa yang dimaksud dengan
“inefisiensi”?. Secara garis besar, inefisiensi itu sendiri bisa diartikan
pemborosan atau pemubaziran seluruh sumber daya dalam proses produksi barang
dan jasa. Inefisiensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, membuang energi dan
waktu, paling tidak sesuai dan tepat untuk suatu tujuan.
Berikut contoh kasus
inefisiensi yang terjadi pada PLN yang saya kutip dari KOMPAS.COM
KOMPAS.com
- Menjelang Hari
Listrik Nasional lalu, yang jatuh pada 27 Oktober, media massa memberitakan
bahwa DPR akan memanggil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara.
Pemanggilan
itu terkait laporan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa selama 2009-2010 PLN merugi
dan mengalami inefisiensi Rp 37,6 triliun.
Masalah
ini menarik untuk ditelaah mengingat sebelum masuk PLN, direktur utama yang
saat ini menjabat sempat menyampaikan kritik bahwa pembangkit PLN salah minum
solar. Justru sekarang, PLN minum solar lebih banyak, dan menyewa lebih banyak
pembangkit diesel.
Namun,
bagaimana jika langkah itu dimaksudkan untuk menghindari pemadaman di sejumlah
wilayah? Mana yang potensi kerugiannya lebih besar: membakar BBM atau
membiarkan krisis tenaga listrik yang berakibat pemadaman?
Mari
kita bandingkan nilai gangguan listrik dengan biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi gangguan. Apakah langkah pencegahan pemadaman listrik dengan
menggunakan BBM merupakan kebijakan yang salah dan merugikan negara?
Nilai
kerugian
Menggunakan
BBM sebagai bahan bakar pembangkit memang mahal. Biaya bahan bakar dalam
komponen biaya produksi listrik mencapai 30 persen. Sebagai ilustrasi pada
tingkat harga solar Rp 9.000 per liter, unsur biaya bahan bakar pembangkit
menjadi 0,3 liter/kWh x Rp 9.000 per liter > Rp 2.700/kWh.
Jika
dikonversikan ke dollar AS, biaya bahan bakar pembangkit yang menggunakan solar
27 sen dollar AS/kWh (asumsi nilai tukar Rp 10.000/dollar AS 2010-2011).
Ditambah unsur biaya modal serta biaya operasi dan pemeliharaan yang rata-rata
3 sen dollar AS/kWh, total biaya pembangkit yang menggunakan solar mencapai 30
sen dollar AS/kWh.
Sekarang,
mari kita lihat nilai gangguan listrik yang diakibatkan oleh pemadaman terhadap
kegiatan perekonomian yang merupakan korelasi antara tingkat pendapatan
domestik bruto (TPDB) dan pertumbuhan (growth/G) dengan tingkat pemakaian
tenaga listrik (TPL/E). Korelasi E dan G dinyatakan dengan rumus E > a.Gb.
Sementara nilai gangguan akibat pemadaman listrik atau service interuption cost
dinyatakan dengan rumus, SIC > dG/dE > G/(b.E).
Untuk
Indonesia, dengan asumsi besaran G > 2.000 dollar AS/kapita, E > 500
kWh/kapita, dan b > 1,5 (b adalah koefisien elastisitas TPL dengan TPDB.
Ketika G tumbuh 6 persen per tahun, E tumbuh 9 persen per tahun, nilai b > 9
persen/6 persen > 1,5), besaran nilai gangguan SIC adalah 2,70 dollar AS per
kWh. Jika kita hitung nilai ekonominya, nilai gangguan listrik adalah 2,70/0,30
> 9 kali lebih besar dari pada biaya untuk mengatasi pemadaman listrik jika
memakai BBM.
Pekerjaan
rumah
Biaya
pembangkitan dari PLTU batubara dan PLTGU gas alam sebenarnya lebih murah 5-6
sen dollar AS/kWh daripada pembangkit BBM. Namun, dengan keterlambatan proyek
10.000 megawatt dan tersendatnya pasokan gas untuk pembangkit PLN pada periode
2009-2010, penyediaan listrik dengan energi yang lebih murah tidak tersedia.
Langkah
membiarkan pemadaman merupakan upaya mikro perusahaan, sekadar untuk mengurangi
pengeluaran biaya perusahaan, minimalisasi rugi. Sementara menghilangkan
pemadaman merupakan langkah ekonomi makro untuk menghindari pengurangan
pendapatan domestik bruto nasional.
Tugas
mencegah pemadaman yang merupakan upaya penting dalam pengamanan penyediaan
pasokan listrik merupakan tugas kewajiban negara demi peningkatan kemakmuran,
kesejahteraan, dan kenyamanan warga. Pelaksanaannya wajib diutamakan oleh PLN
sebagai pelaksana penyediaan tenaga listrik di Tanah Air. Perlu dicatat bahwa
nilai gangguan listrik tidak hanya terkait biaya keekonomian, tetapi juga
terkait biaya politik, bahkan dapat berdampak pada ketahanan energi nasional.
Dari
uraian di atas, upaya menghindari gangguan dengan menggunakan BBM ”tidak salah”
ketika ketersediaan pasokan bahan bakar yang lebih murah tidak terjamin. Urusan
pasokan bahan bakar adalah kewenangan pemerintah, bukan PLN yang memiliki
kewajiban public service
obligation. Namun, tentu saja ketiadaan jaminan pasokan bahan bakar
yang mampu membuat PLN efisien ini jadi pekerjaan rumah besar yang harus
diselesaikan.
Mekanisme
tarif
Satu
hal yang perlu digarisbawahi, sejak PLN didirikan belum tersedia mekanisme
penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang memungkinkan PLN jadi perusahaan
mandiri dalam menjalankan kewajiban pelayanan publik. Langkah utama yang perlu
dilakukan adalah depolitisasi penetapan TDL dengan mengubah peraturan
perundangan. TDL selayaknya tidak lagi ditetapkan oleh presiden dengan
persetujuan DPR, tetapi diatur dan ditetapkan oleh lembaga publik independen
yang beranggotakan perwakilan konsumen, pemasok PLN, pemerintah, ahli, dan
perguruan tinggi.
Badan
ini serupa dengan Public
Utility Board, yang di negara maju berhasil dalam penerapannya.
Badan ini pula yang menetapkan TDL berlandaskan asas pengembalian biaya (cost
recovery) untuk menjamin penyediaan dana pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan guna mencegah gagal listrik berkelanjutan. Pemerintah dan DPR
berwenang menetapkan peraturan perundangan, termasuk penetapan subsidi dan
pajak pada TDL, tetapi aspek teknis dan keuangan penetapan TDL merupakan
wewenang dan tanggung jawab lembaga publik independen.
Dengan
demikian, PLN dapat bertindak profesional, akuntabel dalam penyelenggaraan
pelayanan, berani bersikap independen tidak dikendalikan politisi, siap
berdialog secara terbuka, transparan, dan siap mengikutsertakan partisipasi
publik.
Berdasarkan
contoh kasus inefisiensi PLN diatas, bisa diambil 3 kesimpulan yaitu. Pertama, setelah
dihitung nilai ekonominya, nilai gangguan listrik 9 kali lebih besar dari pada
biaya untuk mengatasi pemadaman listrik jika memakai BBM. Kedua, Biaya
pembangkitan dari PLTU batubara dan PLTGU gas alam sebenarnya lebih murah 5-6
sen dollar AS/kWh daripada pembangkit BBM. Namun, dengan keterlambatan proyek 10.000
megawatt dan tersendatnya pasokan gas untuk pembangkit PLN pada periode
2009-2010, penyediaan listrik dengan energi yang lebih murah tidak tersedia. Ketiga,
Tarif Dasar Listrik (TDL) selayaknya tidak lagi ditetapkan oleh presiden dengan
persetujuan DPR, tetapi diatur dan ditetapkan oleh lembaga publik independen
yang beranggotakan perwakilan konsumen, pemasok PLN, pemerintah, ahli, dan
perguruan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar